1000 skripsi gratis

Download gratis full skripsi

ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH PASCA DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan daerah – sebagai bagian integral dari pembangunan nasional – pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah juga berarti memampukan daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pertama, pendekatan sentralisasi dan kedua, pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralisasi mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para birokrat di pusat. Sedangkan pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah – melalui desentralisasi atau otonomi daerah – memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) di daerah. Artinya pelaksanaan tugas pemerintah daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka (transparency), dan akuntabilitas (accountability).
Kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah di masa lampau merupakan wewenang dan tanggung jawab penuh dari pemerintah pusat, Jakarta. Kewenangan pemerintah pusat yang sangat besar tersebut ternyata tidak hanya berdampak positif bagi pembangunan, tetapi disadari juga menimbulkan efek negatif antara lain pertumbuhan ekonomi daerah atau produk domestik regional bruto (gross domestic regional product) yang relatif sangat lamban, serta panjangnya birokrasi pelayanan publik karena harus menunggu petunjuk dari para pejabat pusat.
Kebijakan dan terkonsentrasinya pembangunan dan pelayanan publik terutama di pulau jawa menimbulkan kesenjangan perekonomian antar daerah di tanah air. Berbagai infrastruktur cukup memadai di wilayah Jawa. Berbeda dengan wilayah luar Pulau Jawa misalnya Kawasan Timur Indonesia (KTI). Ketimpangan (disparity) pembangunan antara Jawa dan luar Jawa – misalnya – merupakan salah satu implikasi negatif dari kebijakan pemerintah yang terpusat (centralized). Oleh karena itu, wajar bila pergerakan ekonomi dan perputaran modal relatif lebih besar dan lebih cepat di Pulau Jawa dibandingkan dengan luar Pulau Jawa.
Jika dikaji dari sisi luas wilayah Indonesia dan cakupan bidang pemerintahan, maka besarnya kekuasaan atau wewenang pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah dari waktu ke waktu cenderung tidak lagi efektif. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pusat juga mempengaruhi intensitas penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan di daerah-daerah.
Otonomi daerah merupakan solusi alternatif dalam mengatasi berbagai permasalahan di atas. Indonesia memasuki era otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001. Pelaksanaan otonomi daerah mengacu pada UU nomor 22 tahun 1999 mengenai pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah yaitu pengaturan pembagian sumber-sumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat-daerah sebagai konsekuensi dari adanya pembagian kewenangan tersebut.
Kondisi ini membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. Dengan adanya otonomi daerah, maka terjadi desentralisasi yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah, perencanaan ekonomi (termasuk menyusun program-program pembangunan daerah) dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pusat ke daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur sumber daya yang ada untuk meningkatkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat.
Di era otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu melakukan alokasi sumber daya yang efisien. Kemampuan daerah untuk mengelola sumber daya secara efisien tercermin dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah selaku perencana, dimana hal ini akan membawa dampak pada keberhasilan ekonomi daerah secara optimal. Dengan adanya otonomi, setiap daerah diharapkan mampu mengembangkan potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya untuk meningkatkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat daerah. Dengan kata lain, bahwa otonomi daerah menuntut adanya suatu kemandirian daerah didalam berbagai aspek terutama aspek perencanaan, keuangan, dan pelaksanaan.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari otonomi daerah. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fugsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN, pada dasarnya bertujuan untuk :
• Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro.
• Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan pemerintah pusat dan keuangan daerah yang dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah. Sebagai gambaran seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.1 dan Gambar 1.1, dimana dalam tahun 2001 taxing power daerah di Indonesia relatif masih rendah yaitu sekitar 5,30% dari konsolidasi APBN dan APBD dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang, negara-negara transisi, dan negara-negara OECD.
Tabel 1.1
Perbandingan Total PAD dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Konsolidasi APBD dan APBN, Termasuk Perkiraan Pengaruh Dari Transfer PBB, BPHTB Dan PPh Untuk Menjadi Pendapatan Kabupaten/Kota

Negara Persentase terhadap Total Pendapatan Persentase Terhadap Total Pengeluaran
Negara berkembang tahun 1990-an 9,27 13,78
Negara transisi tahun 1990-an 16,59 26,12
Negara-negara OECD tahun 1990-an 19,13 32,41
Republik Indonesia TA 1989/1990 4,69 16,62
Republik Indonesia TA 1994/1995 6,11 22,97
Republik Indonesia TA 2001 5,30 27,78
Republik Indonesia TA 2001 *) 7,96 27,78

*)Berdasarkan pada perkiraan pengaruh desentralisasi dari PBB,BPHTB dan PPh
Sumber : Bank Dunia dan Nota Keuangan Pemerintah Indonesia pada berbagai tahun.
• Mengkoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar Daerah dalam kemampuan keuangannya, dimana relatif masih sangat bervariasi kemampuan Akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah Daerah.
• Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
• Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (demokratisasi).

Download

KAJIAN TEORI, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

1. Proses Belajar Mengajar
Belajar dan mengajar merupakan dua hal yang berbeda bila ditinjau dari yang melakukannya, sebab proses belajar dilakukan oleh siswa/mahasiswa dan mengajar dilakukan oleh guru/dosen. Namun demikian belajar dan mengajar merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya merupakan kegiatan yang sejalan dan searah, yaitu untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan pembelajaran.
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Seseorang dikatakan sudah belajar apabila dalam dirinya sudah tercermin tingkah laku yang lebih baik dibanding sebelum dia diajar. Seperti yang dikemukakan oleh Dimyati dan Mudjiono (1994:44) bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam belajar diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk menguasai konsep materi yang diajarkan dan memiliki keterampilan dalam bidang studi yang dipelajari.
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegitan belajar merupakan kegiatan paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa/mahasiswa sebagai peserta didik. Sebagai peserta didik yang mengalami proses belajar maka harus bersifat aktif sedangkan yang mengajar (guru/dosen) mempunyai tugas untuk mendorong dan membimbing serta memberikan fasilitas belajar bagi siswa/mahasiswa agar dapat mencapai tujuan pendidikan.
2. Pengertian Belajar
Menurut Syah (2006:63) belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Hal ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bergantung bagaimana cara dan proses belajar peserta didiknya, baik ketika berada di sekolah maupun tatkala berada dirumah.
Oleh karena itu, pemahaman dalam proses belajar sangatlah diperlukan karena apabila terjadi kekeliruan dan ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar akan mengakibatkan ketidak optimalan hasil dari proses belajar tersebut.
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah proses dimana seseorang mentransferkan berbagai bentuk informasi yang terdapat dalam buku kedalam memori atau ingatan mereka. Padahal makna belajar tidak hanya fokus pada hal tersebut.
Menurut Gagne dalam Sagala (2003:13) belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah sebagai akibat dari pengalaman. Jadi, belajar merupakan proses yang berkesinambungan dan terus berlanjut yang akan merubah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Syah (2006:68) mendefinisikan belajar secara kualitatif merupakan suatu proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling seorang pelajar.
Menurut Skinner dalam Sagala (2003:14) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Belajar juga dipahami sebagai suatu prilaku, pada saat belajar, maka responnya akan menjadi lebih baik
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang sangat menunjang bagi kelancaran dalam proses pembelajaran karena pencapaian tujuan belajar dapat dilihat dari keseriusan peserta didik dalam belajar yang tercermin pada hasil belajar yang diperolehnya pada akhir semester
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang fundamental dalam diri organisme dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan yang diperoleh melalui proses adaptasi prilaku dan tingkah laku individu berlangsung secara progresif yang diperolehnya melalui lingkungan di sekitarnya sehingga peserta didik dapat mengambil setiap makna dan pemahamannya dari setiap kegiatan yang ia amati maupun yang ia lakukan.
3. Evaluasi Pendidikan, Tingkat Penguasaan Kompetensi dan Tingkat Kesukaran Alat Pengukur
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2003:9 dan 2005:4) memuat tentang evaluasi pendidikan yaitu berupa kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Dari pengertian di atas, salah satu bentuk dari evaluasi pendidikan adalah penetapan mutu pendidikan. Berkenaan dengan mutu pendidikan ini, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2005) dalam Bab II Pasal 2 ayat 3 mengemukakan bahwa untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi akreditasi dan sertifikasi.
Dalam hubungannya dengan evaluasi akreditasi dijelaskan adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003:9). Hal ini menunjukkan bahwa akreditasi dari suatu program pendidikan merupakan salah satu bentuk dari evaluasi pendidikan secara eksternal.
Selanjutnya, mutu pendidikan suatu program tentu tidak hanya cukup ditentukan oleh evaluasi eksternal oleh BAN PT, tetapi setiap program

Full Download

MAKNA HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL

Latar Belakang Masalah
Dalam era pembangunan tidak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara bergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru dari anggota masyarakatnya. Untuk mencapai hal itu maka sikap dan perilaku kreatif perlu dipupuk sejak dini, agar peserta didik kelak tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, tetapi mampu menghasilkan pengetahuan baru, tidak hanya menjadi pencari kerja, tetapi mampu menciptakan pekerjaan baru (Munandar, 1999, h. 46).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jellen dari Universitas Utah Amerika Serikat dan Urban dari Universitas Hannover Jerman pada Agustus 1987 terhadap anak-anak berusia 10 tahun (dengan sampel 50 anak-anak di Jakarta), menunjukkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak Indonesia terendah di antara anak-anak seusianya dari 8 negara lainnya (Djunaedi, 2005).
Hasil observasi peneliti terhadap salah satu SD Negeri di Salatiga yang akan menjadi subyek dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa kreativitas siswa di SD tersebut kurang. Hal ini terlihat ketika guru memberi soal-soal IPS misalnya, siswa mengerjakannya persis sama dengan cara yang ada dibuku (teks book), siswa jarang mencoba mencari cara yang lain. Ketika diberi tugas untuk mengarang bebas, kebanyakan siswa mengarang dengan tema yang sama, begitu juga dengan tugas menggambar. Dalam diskusi atau kerja kelompok biasanya hanya beberapa siswa yang aktif, sedangkan siswa yang lain hanya mengikuti saja, jarang ada siswa yang mengajukan pertanyaan atau mencoba mengutarakan pendapatnya.
Drevdahl (dalam Diana,1999, h.7) mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta karangan, hasil atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh pencipta. Kemampuan ini merupakan aktivitas imajinatif atau berpikir sintesis, yang hasilnya merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, berarti, dan bermanfaat.
Di sekolah, keunikan dari pikiran dan ungkapan anak sering kurang mendapat perhatian, anak lebih banyak diharapkan menerima informasi yang diberikan oleh guru, menghafalnya, dan mereproduksinya. Ketika anak dapat mengulang apa yang diajarkan guru dengan tepat, maka anak akan mendapat nilai yang baik. Dalam pendidikan massal keunikan ungkapan individu kurang dihargai, tidak mengherankan jika hasil penelitian menunjukkan bahwa begitu anak masuk kelas satu SD kreativitasnya cenderung menurun (Munandar, 2000, h.390-394).
Kreativitas akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan sekolah turut menunjang dalam mengekspresikan kreativitas. Lehman (dalam Hawadi, 2001, h.27) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas yaitu lingkungan, sosial ekonomi, dan kurangnya waktu bebas. Faktor lingkungan adalah faktor yang lebih berpengaruh terhadap munculnya ekspresi kreativitas, baik itu lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah. Rumah dapat dianggap sebagai lingkungan pertama yang membangkitkan kemampuan ilmiah anak untuk bersikap kreatif, oleh sebab itu orang tua harus mendukung anak untuk mengembangkan kreativitasnya.
Guru adalah tokoh yang paling utama dalam membimbing anak dan orang yang paling bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas di sekolah, termasuk dalam usaha untuk meningkatkan kreativitas. Namun, sistem pengajaran yang dilakukan oleh guru lebih menekankan pada penyampaian informasi faktual dan pengembangan penalaran yaitu pemikiran logis menuju pencapaian satu jawaban yang benar atau paling tepat, cara penemuan jawaban benar sering pula sudah ditentukan oleh guru.
Dengan demikian pemikiran kreatif, yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mampu memberikan macam-macam kemungkinan jawaban secara lancar, fleksibel, dan orisinal, kurang dirangsang (Munandar, 1999, h.14).
Kreativitas anak di sekolah dapat meningkat apabila guru lebih bersikap demokratis dalam mengajar yaitu guru menghargai kemampuan anak, memberi kesempatan anak untuk mengembangkan potensi dan mengungkap-kan gagasan-gagasannya, serta memperbolehkan anak menjajaki beberapa cara untuk memecahkan berbagai persoalan. Winkel (2004) menyebutnya dengan istilah gaya mengajar secara demokratis. Hal inilah yang ingin diteliti lebih jauh oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berpikir kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar. Dalam suasana demokratis, ketika belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang, karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan baru dan ketika anak diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, dalam suasana inilah kemampuan kreatif dapat tumbuh dengan subur (Munandar, 2004, h.12).
Mendidik anak secara demokratis dapat meningkatkan kreativitas, dimana guru dapat berperan aktif menciptakan suasana yang mendukung kreativitas anak melalui sikap menghargai dan menghormati keberadaan anak sebagai individu, menerima anak sebagaimana adanya, dan menjauhi sikap otoriter yang tidak memberi kebebasan pada anak untuk menuangkan ide-ide kreatifnya. Cara lain yang efektif adalah dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan terbuka yang menimbulkan minat dan merangsang rasa ingin tahu, serta mendorong untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sendiri terhadap suatu masalah. Biasanya dalam proses belajar mengajar, guru mengajukan pertanyaan kepada anak tapi jarang mengajak anak untuk mengajukan pertanyaan (Munandar, 2000, h.390-394).
Sebagai fasilitator guru memberikan kemudahan dan sebagai motivator guru mendorong siswa untuk mengembangkan prakarsa dalam menjajaki tugas-tugas baru. Guru tidak cepat memberikan kritik, tetapi memberikan dukungan dan rangsangan bila diperlukan. Guru hendaknya bersifat terbuka terhadap gagasan siswa-siswanya, termasuk gagasan-gagasan yang baru atau luar biasa. Setiap anak hendaknya merasa bebas mengungkapkan gagasan-gagasan yang tidak lazim, pendapat yang agak tidak masuk akal, dan ide-ide yang orisinal. Oleh karena itu, sangatlah penting guru mendorong proses pemikiran, tidak hanya mengenai data yang sudah ada, tetapi juga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka, merangsang daya imajinasi, dan kreativitas (Munandar, 2000, h.390-394).

Full Download

PERBEDAAN HASIL MENTAL IMAGERY ANTARA SUAMI DAN ISTRI MENGENAI DAMPAK PERCERAIAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah dipersatukannya dua pribadi dalam suatu ikatan formal melalui catatan sipil dan juga diabadikan di hadapan Tuhan sesuai dengan agama yang disetujui kedua belah pihak. Kedua pribadi ini masing-masing memiliki karakter, keinginan dan tujuan hidup. Dalam pernikahan, dua orang menjadi satu kesatuan yang saling berdampingan, dan membutuhkan dukungan. Saling melayani yang diwujudkan dalam hidup berbagi (share living), karena pernikahan merupakan ikatan yang bersifat permanent, yang diperlukan bagi kesejahteraan dan rasa aman keluarga.
Perkawinan merupakan bertemunya dua manusia yang berbeda dalam hal karakter, kepribadian, prinsip dan tujuan hidup, serta keinginan dan harapannya, maka dalam perjalanan pernikahan itu sendiri akan sulit menemukan jalan lurus tanpa belokan-belokan dan hambatan-hambatan dan kelokan-kelokan tajam yang akan membuat orang yang menempuhnya selalu waspada. Perbedaan-perbedaan inilah yang sering menjadi pangkal sebab dan salah paham yang mengganggu ketenangan dan suasana aman dalam keluarga. Perkawinan harus dipandang sebagai suatu tugas bagi kedua orang. Perlu menerima kenyataan bahwa dengan kesungguhan berupaya akan dapat mengatur hidup agar sejahtera dan bahagia. Cinta harus dipupuk sehingga bertambah kuat. Perlu keyakinan diri dan percaya akan pasangannya. Perlu kesiapan untuk berupaya terus menerus menjadikan pernikahan sebagai suatu pengalaman indah dan saling memperkaya. Perkawinan banyak ditentukan oleh tekad baik kedua orang yang akan membentuk dan menciptakan pernikahan yang baik dan harmonis.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari batasan ini jelaslah bahwa tujuan perkawinan bukanlah kebahagiaan tetapi kesatuan, dengan adanya ikatan lahir batin antara suami istri dalam membentuk keluarga. Untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Tanpa adanya kesatuan tujuan di dalam keluarga, dan tanpa adanya kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan, yang akhirnya akan dapat menuju keretakan keluarga yang dapat berakibat lebih jauh. Tujuan perkawinan merupakan hal yang sangat penting untuk ditanamkan pada masing-masing pihak, yaitu suami dan istri. Tujuan yang sama harus benar-benar diresapi oleh anggota pasangan dan harus disadari bahwa tujuan itu akan dicapai secara bersama-sama, bukan hanya oleh istri saja atau suami saja.
Pada umumnya dalam perkawinan peran suami dan istri sudah diatur sedemikian rupa, sehingga peran istri adalah memberikan keturunan, lebih banyak berhubungan dengan anak (mengasuh dan membesarkan anak) dan mempunyai kesibukan rumah tangga di dalam rumah. Sebaliknya suami atau ayah memberikan rasa aman, status, dukungan ekonomi (pencari nafkah) dan banyak melakukan aktifitas di luar rumah. Selain itu peran suami juga bertanggung jawab, aktif dan terlibat dalam pengasuhan anak-anaknya. Menurut hukum Islam peran suami sebagai kepala rumah tangga, dan peran istri adalah sebagai ibu rumah tangga, namun bukan berarti sebagai kepala rumah tangga suami bersikap semena-mena pada istri.
Adanya masalah dalam perkawinan merupakan alasan perceraian yang umum diajukan oleh pasangan suami istri. Alasan tersebut kerap diajukan apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan perceraian. Masalah-masalah yang biasa timbul dalam perkawinan adalah kurangnya keintiman secara seksual, meledak ketika terlibat perdebatan sehingga menjadi terlalu terbawa emosi, bersikap mementingkan diri sendiri, berlaku tidak jujur pada pasangan, tidak ada saling menghargai sesama pasangan, dan kurangnya perhatian terhadap pasangan.
Perceraian di masa sekarang ini tampaknya telah menjadi suatu fenomena yang umum di masyarakat, karena situasi dan kondisi masyarakat saat ini juga telah berubah, berbeda jauh dengan kondisi masyarakat sebelumnya. Kurangnya aturan-aturan hukum yang membatasi kemungkinan terjadinya perceraian, kurang adanya penolakan dari agama-agama terhadap proses perceraian, dan mulai hilangnya stigma sosial untuk mereka yang bercerai, merupakan kondisi-kondisi yang mendorong meningkatnya angka perceraian dimasyarakat. Menurut Gottman (dalam Bachtiar, 2004) , momok perceraian tersebut akan terwujud jika masing-masing selalu melakukan kritik yang intinya menyalahkan pasangan, penghinaan, pembelaan diri, dan membangun tembok-tembok pembatas untuk tidak berhubungan lagi.
Tabel 1
Jumlah Perceraian di Surabaya
Tahun 2000 - 2005
Tahun Cerai (%)
2000 0,85
2001 1,25
2002 0,80
2003 10,99
2004 12,49
2005 21,60
Sumber: Kantor Dep. AGAMA kota Surabaya
Biro Pusat Statistik Surabaya

Angka perceraian di Surabaya pada tahun 2005 mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2004 dan tahun 2003. Angka cerai pada tahun 2005 bertambah menjadi 2.160 perkara. Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya pada tahun 2004 angka perceraian sebesar 1.249 perkara dan tahun 2003 sebesar 1.099 perkara. Pada tahun 2006 periode Januari - November sebanyak 2.302 kasus cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Surabaya.

Full Download

PERANAN PENYIDIK DALAM MEMBANTU PENYELESAIAN TINDAK PIDANA NARKOBA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal Pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya.
Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.
Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju

Dan masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Diantara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah " Penyidik ", dalam hal ini penyidik POLRI, dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika didalamnya diatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini.
Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni penyidik Polri serta para penegak hukum yang lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana Narkoba yang semakin marak dewasa ini.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas , maka penulis ingin mengupas beberapa Permasalahan yang dijadikan obyek di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Sampai sejauh mana peranan penyidik dalam menjalankan tugas untuk menangani tindak pidana Narkoba?
2. Bagaimana langkah-langkah penyidik dalam mengungkap masalah terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana Narkoba?
3. Hambatan-hambatan apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana narkoba ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan atau penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui serta mempelajari secara lebih mendalam bagaimana peranan penyidik dalam membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana Narkoba.
2. Penulis ingin mengetahui bagaimana penjatuhan sanksi terhadap para pelaku dan pengedar narkoba.
3. Penulis ingin mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya tersebut.
4. Penulis ingin mengetahui sejauh mana peranan penyidik didalam membantu proses penyelesaian kasus tindak pidana narkoba yang terjadi didalam masyarakat.

Full Download

PENGARUH TINGKAT KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP KEHARMONISAN RUMAH TANGGA PADA SUAMI ISTRI DI DESA SELOKBESUKI KECAMATAN SUKODONO KABUPATEN LUMAJANG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang membentuk pribadi akan memberikan pengaruh besar dalam kehidupan individu saat ini dan kelak. Apabila dalam keluarga kurang memberikan pemenuhan yang seimbang terhadap kebutuhan dan nilai yang memberi cara pandang terhadap individu dalam menjalani kehidupan, maka akan timbul pengaruh yang kurang baik pada kehidupannya kelak.
Pembunuhan, KDRT, perselingkuhan, dan kasus bunuh diri yang kerap kita ketahui dari media masa faktor penyebabnya tidak akan lepas dari keadaan dalam keluarga. Hal ini banyak ditentukan oleh keadaan jiwa individu tersebut dan keadaan keluarga yang menjadi pendorong dalam penyaluran hasrat emosional. Seperti anak yang berumur belasan tahun nekat bunuh diri, ia malu karena tidak mempunyai seragam sekolah. Kasus tersebut mengindikasikan bahwa kurangnya kontrol dan keseimbangan dari kehidupan keluarga, apabila dalam keluarganya terjadi kesinambungan, penanaman moral yang tepat, dan saling pengertian antar anggota keluarga, maka resiko bunuh diri seperti kasus diatas bahkan kasus-kasus yang lain dapat diantisipasi.
Sikap individu dalam menyikapi sesuatu sangatlah penting, dan yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap positif ini adalah iklim keluarga yang harmonis. Sikap positif dapat menuntun individu dalam menghadapi masalah dan memecahkan masalah tersebut dengan arif. Dengan adanya sikap ini maka peristiwa pembunuhan dan KDRT, perselingkuhan, dan bunuh diri dapat dicegah.
Kehidupan keluarga penuh tantangan dan tanggung jawab. Di satu sisi jadwal yang padat, pekerjaan diluar maupun dalam rumah, tanggung jawab dan janji, dan sebagainya. Kesemuanya menuntut agar dapat dijalankan dengan mulus. Setiap suami-istri pasti mendambakan kehidupan yang damai, membesarkan anak yang baik dan bermartabat, meraih mimpi-mimpi, meraih kepuasan pribadi, dan tetap menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Akhirnya mereka memerlukan keseimbangan dalm menjalankan kehidupan ditengah peran-peran tadi.
Untuk mencapai keseimbangan dalam peran-peran tersebut yang akan membawa terhadap kesuksesan keluarga dimulai dari paradigma yang merupakan peta dalam menjalankan kehidupan. Kita bertanggung jawab atas efektifitas kita sendiri, kebahagiaan kita, dan untuk sebagian besar keadaan kita. Apakah derita atau senang, baik atau buruk, dan sebagainya, kesemuanya didasarkan bagaimana kita merespon keadaan tersebut. Respon yang benar adalah respon yang didsarkan pada prinsip yang hakiki sebagai acuan paradigma kita. Namun kadang kita meluapkan salah satu sisi dari manusia, atau paradigma kita kurang akurat, dengan paradigma yang berpusat pada prinsip maka keutuhan dalam memandang manusia akan terpenuhi.
Paradigma pribadi utuh sanagat dibutuhkan dalam memandang manusia terutama dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan

FullDownload

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS II SMU LAB SCHOOL JAKARTA TIMUR

BAB I
PENDAHULUAN


Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

A. Latar belakang masalah
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”

Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan

Fulldownload
ISI DARI POP UP